Jika telah sampai nafasku pada batas akhir aku ingin melihatmu,
menyampaikan sajak pilu dalam redup mata.
Tercurah dalam kesucian air mata.
Semarak gundah meliput dalam kalbu.
Terlihat jelas pada langit yang tampak gulana.
Kasihku, tak engkau lihatkah sang mentari yang telah kehilangan warna merahnya.
Coba engkau pejamkan matamu maka hendaklah kau mendengar bisikan tangis alam melalui nyanyian sendu sang angin.
Dalam keburaman mata masih tampak wajahmu yang berkilau.
Mungkin surga telah membagi kilaunya pada dirimu.
Kini, telah tiba waktu dimana aku kan pergi, dimana telah tiada kan mampu jasadku engkau dekap.
Kasihku, meski malaikat mampu merenggut ku darimu.
Namun, malaikat maut takkan sanggup tuk membunuh cinta diantara kita.
Percayalah pada sang waktu. Karena di sana akan kau temukan sebuah kesetiaan.
Keabadian dalam sebuah cinta.
(dimrona_14-07-2011)
Kamis, 14 Juli 2011
Senin, 11 Juli 2011
Suhuf Cinta
Cinta..
Ketika kau mulai memikirkannya banyak sekali yang ingin kau ungkapkan mengenai dirinya. Banyak yang tak bisa kau pecahkan karenanya. Puisi indah sang pujangga tak kan mampu melampirkan keindahannya.
Hanya alam, naluri jiwa yang mampu menerjemahkan cinta. Cinta tak di ilhami dari lisan, tapi cinta kau pahami dari sejuta kisah yang terurai, dari beribu duka. Suhuf-suhuf musafir yang hilang, yang dapat kau temukan.
Kadang kala cinta hanyalah oase semu. Fatamorgana dalam kemayaan. Kesejukannya hanya diraih dalam asa. Tiada dapatlah menggambarkannya. Cinta adalah seni abstrak, tiada bentuk berupa namun terlihat jelita.
Cinta dalam logika tiada sanggup tuk menjelmakannya. Namun, dalam kekeliruan dan tabunya. Semakin terlihat jelaslah cinta itu. (dimrona)
Ketika kau mulai memikirkannya banyak sekali yang ingin kau ungkapkan mengenai dirinya. Banyak yang tak bisa kau pecahkan karenanya. Puisi indah sang pujangga tak kan mampu melampirkan keindahannya.
Hanya alam, naluri jiwa yang mampu menerjemahkan cinta. Cinta tak di ilhami dari lisan, tapi cinta kau pahami dari sejuta kisah yang terurai, dari beribu duka. Suhuf-suhuf musafir yang hilang, yang dapat kau temukan.
Kadang kala cinta hanyalah oase semu. Fatamorgana dalam kemayaan. Kesejukannya hanya diraih dalam asa. Tiada dapatlah menggambarkannya. Cinta adalah seni abstrak, tiada bentuk berupa namun terlihat jelita.
Cinta dalam logika tiada sanggup tuk menjelmakannya. Namun, dalam kekeliruan dan tabunya. Semakin terlihat jelaslah cinta itu. (dimrona)
Minggu, 10 Juli 2011
Biografi Kahlil Gibran
Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.
Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.
Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.
Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “The Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “The Garden of the Propeth”.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.
Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.
Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”
Sabtu, 09 Juli 2011
Sastra
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:
Sajak-sajak hitam
Di suatu senja, seorang gadis belia berdiri sendiri di halte. Berharap bus jurusan Kampung Baru akan datang untuk menumpangnya. Gadis SMA itu berjalan dengan segala kebingungan dan kegelisahannya. Iseng ada tiga orang cowok iseng yang menggodanya. Tiba-tiba datanglah seorang cowok misterius dengan memakai helm cokop yang belum terlepas dari kepalanya.
“Hei, tiga orang aneh. Jangan beraninya sama cewek! Kalo berani sini bertarung sama gue.” Tantang cowok misterus sambil menendang perut ketiga cowok iseng. Benar saja dalam waktu 3 detik semua cowok itu terkapar tidak berdaya. Di benak gadis itu, cowok misterius benar-benar luar biasa. Adegan itu mengingatkannya pada drama Korea yang memang menjadi kegemarannya. Dalam perjalanan pulang gadis ikal yang bernama Ruri masih penasaran. Siapa itu cowok, tadi dia pakai seragam yang sama dengan yang aku pakai itu artinya dia bersekolah yang sama denganku. SMA 2 Pelita. Bener-bener itu cowok bisa banget buat aku gemetar sebelum melihat wajahnya.
Keesokan harinya Ruri menunggu di parkiran kendaraan siswa, berharap ia mengetahui siapa yang menjadi penyelamatnya kemarin. Satu jam, dua jam tak kunjung datang juga. Memang kendaraan sang penyelamat ada tapi orang yang punya belum terlihat. Baru saja Ruri hendak pergi, ia melihat penyelamatnya. Ia terkejut bukan kepalang ternyata penyelamatnya adalah Reza seorang cowok ganteng dan tajir di SMA nya. Dalam hati dia sangat senang tapi ia masih ragu benarkah seorang Reza cowok ganteng, tajir, dan jago karate menyelamatkannya tanpa maksud.
“Loh, Ruri? Ngapain duduk di bawah pohon? Ada barangnya yang hilang? ” tersentak Ruri karena terlalu asyik berfikir. Tanpa ia sadari Reza sudah berdiri di depannya dengan motor. Sekenanya saja Ruri menjawab bahwa ia kehilangan kunci motor. Padahal ia sadar bahwa ia tak membawa motor ke sekolah. Dengan tulus dan sabar Reza membantunya, mencari di setiap sudut. Mataharipun telah tenggelam namun mereka tak kunjung pulang. Hingga akhirnya Ruri pura-pura ingat bahwa ia tidak membawa motor hari ini. Karena hari telah gelap dan Reza tak tega jika melihat seorang cewek sendirian naik bis.
Diantarlah gadis itu. Dalam perjalanan tak satupun keduanya mengucapkan satu patah kata pun, entah apa yang ada di kedua pihak itu. Mungkin angin pada senja tak cukup untuk menjelaskan debaran di antara mereka. Seiring waktu Ruri dan Reza menjadi semakin dekat, sebenarnya Reza t’lah lama menyimpan perasaan cinta pada Ruri. Sejak pertama kali bertemu pada MOS kelas X. Namun, tiada pernah berani tuk ungkapkan hingga tibalah hari di mana Reza memberikan sajak cinta pada Ruri.
Nyanyian Sang Dewa
Dinding hati telah retak
Terguncang badai emas
Bukan bahagia yang di rasa
Tapi gelisah yang mendera
Nyanyian sang dewa semakin menggema
Menderu memecah kelam
Hati tergetar, tubuh bersujud
Hilang semua daya
Karna satu pandang
Semakin bergetarlah jantung Ruri, tiada kuasa merasakan sajak yang teruntai dari Reza hanya untuknya. Terjawablah cinta keduanya. Mereka menjadi sepasang merpati yang selalu terbang beriringan. Tiadalah lelah dalam sumpah setianya. Bagi mereka tiap detik adalah waktu tuk saling merindukan. Tiap menit adalah waktu pisah yang tiada kira lamanya. Bersajaklah keduanya, cinta telah menjadikan mereka menjadi pujangga yang haus akan cinta. Tiada terasalah bahwa waktu itu akan terjadi pada cinta mereka. Asmara semakin tumbuh subur didalam taman cinta kedua siswa kelas XI itu. Beberapa hari yang lalu orang tua Ruri menelpon Reza.
“Halo. Reza. Ini tante, ibunya Ruri. Kabar buruk bus yang ditumpangi Ruri mengalami kecelakaan sekarang ia koma di rumah sakit Fatwati.” Spontan saja Reza langsung mengendarai motornya dengan kencang berharap kekasihnya baik-baik saja. Terurailah air mata haru di mata.
“Ruri..wahai kekasihku, mengapa tiada aku saja yang terluka mengapa harus engkau. Aku tak tega melihatmu seperti ini” lirih Reza dalam sanubarinya. Teringatlah ia pada sebuah sajak yang berhiaskan tinta hitam yang diberikan Ruri kepadanya sebelum Ruri mengalami kecelakaan.
Masihkah Kau Mencintaiku
Masihkah kau mencintaiku
Saat ku tak lagi dapat melihat sosokmu
Saat aku tak lagi dapat mendengar suaramu
Masihkah kau mencintaiku
Disaat ku tak dapat mengingat
Saat kau tak menjadi berharga lagi
Masihkah kau mencintaiku ?
Sajak itulah yang membuat Reza bertahan dalam setia. Sajak terakhir yang diberikan Ruri padanya. Setiap hari Reza selalu datang, membawakan kisah tentang cinta mereka. Membacakan syair untuk Ruri. Tak terasa sudah 1 tahun Ruri baring dalam ketidakberdayaannya. Reza mulai jenuh, ia merasakan cinta tak lagi penuhi dalam jiwanya. Ia menyerah, telah terlupakan sumpah setianya. Sungguhlah tega ia meninggalkan Ruri dalam kesakitannya. Ruri masih bertahan, berjuang hidup demi bertemu dengan Reza. Pasti, hancurlah hatinya ketika ia menyadari bahwa Reza telah pergi meninggalkannya dalam kehampaan. Sajak-sajak cinta mereka kini sudah tiada arti. Tinta itu telah luntur. Sajak telah berubah menjadi hitam. Kini, tiadalah terlihat sajak yang penuh dengan cinta. (dimrona)
Langganan:
Postingan (Atom)