Jumat, 25 Mei 2012

Sabda

Malam ini kembali ku dengar sabda alam
Tak berbahasa tak berwujud
Namun cukup bisa dimengerti dan terjamah
Melambai-lambai seolah merayu
Mengajak menari dan bercengkrama

Sungguh sabda malam ini begitu indah
Meluap-luap hingga tanpa sadar hati terbakar
Sungguhlah indah sabda ini
Karena dalam dirinya terukir firman Tuhannya

Teramat indah tatkala ku tahu
Sabda ini datang bersama titah Tuhannya
Sabda alam ini masih saja merayu membelai
Seolah anak yang menyusu pada Ibunya
Tiada mau terpisah

Untukmu, Teruntukmu

Untukmu jiwaku
Puisi ini aku tulis
Untukmu nafasku
Ku tuliskan bait wujud hatiku

Teruntukmu tulang rusukku
Aku berdo'a menjaga kebaikan
Teruntukmu penguasaku
Aku tunduk lalu memujamu

Untukmu cintaku
Aku berdiri melawan kabut hitam
Yang membutakan mataku
Untukmu bayanganku
Aku menunggu fajar tuk menyambutmu kembali 

Dengarkan Bisikan Sabdanya

Dengarkan bisikan-bisikan alam
Yang merayu para pecinta
Dengarkan bisikan-bisikannya 
Mengalun, membuai nurani 

Dengarkan bisikannya 
Merdu memanja
Membuat hati tergetar
Mematikan jiwa para insan 

Dengar bisikan-bisikannya 
Maka kau akan mendengar 
Petuah cinta yang bijak 
Dengarkan bisikannya 
Karna sabdanya yang paling arif

Ekologi Hati

Aku hanya seorang gadis
Yang hidup dengan separuh cinta
Setengah nafas
Dan juga kelemahan

Aku hanya seorang gadis
Yang menunggu mawarnya mekar
Yang sedang berbicara pada bulan
Tentang kapan mentari datang membawa kehangatan

Aku hanya seorang gadis
Yang sedang meracik wewangian
Menciptakan aroma yang sama dalam khayalan
Aroma wewangian yang tak biasa

Aku hanya seorang gadis
Yang mencoba menjadi rusuk
Aku hanya seorang gadis
Yang menunggu jiwanya

Senin, 07 Mei 2012

Kebisuan Asmara

Derai pekat malam mulai terlihat tabirnya
Nur keemasan bagai hiasan sang ratu
Diam kediaman hanya menyisakan kebisuan
Hati menggumam memuji alamnya
Termenung melantunkan asmanya dalam asmara yang mulai rapuh
Mulai terjaga atas kilau
Dewa-dewi tunduk agungkan syair
Melantunkan musik cinta pada hati setiap insan
Dan gubahan senandung itu
Kini melekat pada duniaku

Minggu, 06 Mei 2012

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. [1] Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [2] Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan. Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.ama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[3]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[4] Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.[5][6] Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[7] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.Karya tulis yang diterbitkan Sampul Buku "Deru Campur Debu" Deru Campur Debu (1949) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949) Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin) "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986) Derai-derai Cemara (1998) Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Jeritan Senja

Kala senja datang terbawa sebuah luka
 Teringat sebuah jeritan dari lereng
Terurai kristal bening dari mata
Kaki terus melangkah terkejar oleh bayang
Tanpa menoleh Tanpa melihat yang ada
Ku pejamkan mata untuk lari dari takut
Ku tutup telinga agar tak dengar gemuruh amarah
 Semua t’lah terhenti
 Dan saat ku buka mata tuk melihat
 Kini tak ada beda Mana rumah mana tanah